
Dikisahkan, di Pulau Buru, Maluku, tersebutlah sebuah negeri bernama Tifu. Tidak jauh dari negeri ini terdapat sebuah gunung yang bernama Gunung Garuda. Jika dilihat dari pantai Tifu, Gunung Garuda terlihat berwarna kemerah-merahan.
Di lereng gunung itu terdapat dua buah liang batu yang letaknya agak berjauhan, kedua liang batu tersebut masing-masing dihuni oleh seekor burung elang jantan dan seekor elang betina. Kedua burung elang tersebut merupakan burung elang terbesar di Pulau Buru. Jika burung elang raksasa ini sedang mengembangkan sayapnya di angkasa, hampir sebagian Negeri Tifu menjadi gelap karena tertutupi bayangannya.
Burung elang raksasa tersebut termasuk burung paling ganas di antara burung pemangsa lainnya. Kukunya sangat tajam untuk menerkam dan mencengkeram mangsa, serta memiliki keterampilan dan kecepatan yang tinggi dalam melumpuhkan mangsa. Burung elang raksasa itu juga memiliki bulu yang rapat dan tungkai yang bersisik tebal untuk melindungi tubuhnya dari sengatan binatang yang dimangsanya. Keistimewaan lain yang dimiliki burung ini adalah kepala dan matanya besar serta daya penglihatannya sangat tajam untuk memburu mangsa dari jarak jauh, sehingga tidak satu pun mangsa yang dapat lolos dari pengamatannya. Burung elang raksasa itu juga memiliki kecepatan untuk terbang melayang tinggi ke angkasa. Ia juga mempunyai sistem pernafasan yang baik dan mampu membekali dirinya dengan oksigen yang banyak, sehingga dapat terbang sepanjang hari di angkasa.
Sepasang burung elang tersebut biasanya terbang mencari mangsa pada siang hari, sedangkan pada malam hari mereka beristirahat di sarangnya masing-masing. Burung elang betina lebih giat mencari mangsa dibandingkan dengan burung elang jantan. Jenis binatang yang biasa menjadi sasarannya adalah hewan mamalia kecil seperti tikus, tupai, dan ayam. Terkadang pula ikan dan udang menjadi mangsanya. Jika mereka tidak mendapat mangsa binatang atau hewan, manusia pun bisa menjadi sasarannya. Walau demikian, mereka tidak mau memangsa manusia yang berada di sekitar tempat tinggalnya. Oleh karena itu, mereka selalu terbang jauh untuk mencari mangsa.
Kedua burung elang raksa tersebut, terutama si elang betina, sering mengincar penumpang kapal yang melintas di perairan sekitar Pulau Buru. Jika melihat ada kapal yang melintas, elang betina dengan cepat terbang menuju ke kapal tersebut untuk menangkap para penumpangnya dan membawa mereka ke sarangnya. Sebagian mangsa tersebut langsung disantap dan sebagian yang lain disimpan selama beberapa hari sambil menunggu kedatangan kapal berikutnya. Manusia yang sering menjadi korbannya adalah pelaut-pelaut Cina yang melintas di daerah itu.
Berita tentang keganasan burung elang itu pun tersebar ke seluruh penjuru Negeri Cina.
Sekelompok nelayan yang mendengar berita tersebut bermaksud untuk menumpas keganasan kedua burung elang raksasa tersebut. Mereka akan menghadapi kedua elang itu dengan besi runcing atau tombak besi sepanjang tiga meter. Saat berada di perairan Tifu, mereka akan memanaskan ujung besi runcing itu hingga merah membara sebelum menusukkannya ke tubuh burung elang tersebut.
Setelah semuanya siap, berangkatlah rombongan nelayan Cina itu ke perairan Tifu dengan menggunakan kapal. Setelah berhari-hari berlayar, akhirnya mereka tiba di perairan Buru Selatan. Nahkoda kapal segera memerintahkan seluruh awak kapal yang jumlahnya puluhan lebih untuk bersiaga.
Para awak kapal segera mengambil senjata masing-masing lalu berkumpul di geladak kapal sambil memanaskan ujung tombak besi mereka. Tidak lama kemudian, ujung tombak besi itu berubah menjadi merah membara dan siap untuk digunakan.
Bersamaan dengan itu, kedua burung elang raksasa itu pun datang untuk memangsa mereka. Namun, sebelum keduanya mencengkeramkan cakar tajamnya ke tubuh mereka, para awak kapal segera menancapkan tombak besinya ke tubuh kedua burung elang tersebut. Tak ayal, sepasang burung elang raksasa itu langsung mengerang kesakitan.
Walau terluka parah dengan tombak besi menancap hampir di seluruh tubuhnya, kedua burung elang raksasa itu berusaha terbang ke sarangnya dengan sisa tenaga yang dimiliki. Namun, belum sampai di sarangnya mereka telah kehabisan darah hingga akhirnya jatuh dan tewas di pantai Tifa. Setelah memastikan keduanya telah mati, rombongan pelaut Cina tersebut segera meninggalkan itu dan kembali ke negerinya.
Sementara itu, bangkai kedua burung elang raksasa itu dibiarkan tergeletak di pantai Tifu. Lambat laun bangkai itu kemudian berubah menjadi Tanifal, yaitu sebidang daratan berpasir putih dan halus. Tanifal itu dikelilingi oleh air laut dan hanya tampak ketika air laut sedang surut.
Menurut cerita masyarakat setempat, kedua bola dari salah satu dari burung elang itu terlepas dan kemudian berubah menjadi dua buah batu besar. Lambat laun, kedua batu besar yang ditumbuhi rerumputan itu membentuk dua pulau kecil yang indah.
Hingga saat ini masyarakat setempat juga mempercayai bahwa di daerah tersebut masih terdapat burung goheba atau burung elang yang dianggap sebagai keturunan dari kedua burung elang raksasa itu. Bahkan, burung goheba itu menjadi salah satu tanda bagi para nelayan untuk mengetahui tempat berkumpulnya kawanan ikan di suatu tempat. Jika goheba itu beterbangan dan mondar-mandir mengelilingi Negeri Tifu atau Pulau Buru sambil berbunyi, maka hal itu merupakan pertanda bahwa di tempat itu terdapat kawanan ikan yang sedang berkumpul.